Tuesday, October 25

One Step Closer to "Absolute Freedom"

"... And if you feel that you can't go on... And your will's sinking on... Just believe and you can't go wrong. In the light you will find the road. You'll find the road."
Led Zeppelin, In The Light

Hari ini mungkin bisa jadi hari yang paling membahagiakan di dalam hidup saya..Setelah kelahiran si bungsu Rifnida serta sidang skripsi, tentunya. Tapi esensi kebahagiaan saya hari ini cenderung agak individualis, karena saya merasa sangat senang atas pencapaian serta usaha saya selama ini. 


 

Mungkin terkesan sedikit selfish dan sombong, ketika saya mengatakan "pencapaian serta usaha saya". Practically, it was not pure my struggle. I ain't alone. Banyak sekali, diantara sahabat karib serta merta menyokong pergerakan sporadis saya selama ini. hahaha -__-"

Saya teringat beberapa tahun ke belakang, atau beberapa belas tahun ke belakang, saya bukanlah orang yang optimis terhadap cita-cita. Tak ada passion yang saya perjuangkan, and everything was just tasteless. How pathetic... 

Dalam kurun waktu belasan tahun itu, yang ada di pikiran saya hanyalah memiliki hidup sebaik mungkin, belajar serajin mungkin agar menjadi orang sepintar mungkin. Tak ada tension. Tak ada suspense. All was just a flat line, I had.

Saya sempat berpikir, jika saya punya anak cucu kelak, apakah yang akan saya ceritakan nanti? Bahwa mamanya pernah juara kelas, lalu lulus sekolah, lalu menikah, lalu punya anak.... dan cerita selesai begitu saja? Saya tidak mau jika hidup saya hanya sebatas menumpang napas lalu berak, tertawa hahaha lalu menangis saja. Setidaknya, ada satu titik balik dimana saya harus mengidentifikasi apakah gunanya saya hidup di dunia.

Lalu akhirnya saya menyadari satu hal: Life's all about experiment. It's like a wave, up and down. The important thing is how could we make it 'meaningful', because if it is just wonderful, we haven't cross the line yet. You're still inside a box, named 'comfort zone'.

Saya mulai menyukai 'tulisan' tepat sejak saya masuk TK. Kira-kira saat itu umur saya masih 4 tahun, dan ibu melihat perkembangan diri saya di bidang literatur sangat pesat. Tak perlu waktu banyak untuk saya menghabiskan masa-masa ke-unyu-an saya di TK, cukup 1 tahun dan saya sudah bisa mendapatkan predikat 'murid TK termuda yang sudah bisa berhitung, membaca, menulis, dan menggambar".

Lanjut di masa SD (saya berumur 5 tahun ketika mendaftar di SD), saya beberapa kali mengikuti lomba cerdas cermat (walaupun saya tidak terlalu suka), lomba baca cepat, lomba menulis indah (walaupun tulisan saya semakin dewasa semakin mirip surat cinta dokter untuk apoteker), serta menduduki kursi ranking pertama selama 6 tahun berturut-turut. Jadi ciuman Ibu dan Bapak di setiap akhir caturwulan menjadi satu ritual yang sudah biasa (saat itu belum menggunakan sistem semester).

Lalu, apakah saya merasa puas dengan pencapaian seperti itu? Bahkan sampai ketika saya lulus dari SMA, tidak ada yang bisa memuaskan saya dan berkata: "thank God, I'm alive!". Saya bersyukur atas momentum-momentum yang sempat dipercikkan Tuhan ketika itu, namun saya tidak merasa bahwa itu semua cukup mewakili rasa syukur saya. Dan pada akhirnya, saya selalu merasa ada saja yang kurang. :)

Maka saat itu pun tiba. Masa-masa kontemplasi saya dimulai sejak awal masuk kuliah, dimana saya dihadapkan pada satu keadaan yang memaksa saya untuk berpikir lebih maju dan dewasa. Bagaimana tidak, selama 17 tahun saya hidup di dalam lingkungan keluarga yang harmonis dan penuh cinta, sekarang saya harus hidup sendiri, di kamar sebesar 3x4 meter, dan melakukan semua hal sendiri... termasuk bangun pagi. :|

Masa-masa seperti itulah yang akan selalu saya ingat. Dimana kemandirian berbanding lurus dengan pengalaman. Ibu yang (sampai saat ini) begitu peduli akan masa depan saya, tidak serta merta menyerahkan semua keputusan di tangan saya. Mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi, orangtua sayalah yang memutuskan saya harus masuk kemana. 

Sejak SD saya sudah mencintai bidang tulis menulis, dan mulai dari SMP saya sudah memiliki satu draft novel ber-genre sci-fi, yang sampai saat ini terbengkalai. Ladang imajinasi saya terlalu luas, bahkan melebihi luas stepa. Maka sampai saat ini saya selalu menumbuhkembangkan setiap ilalang imajinasi saya, dan menuliskannya ke dalam bentuk cerita, baik fiksi maupun non-fiksi. Meliar, meliar, dan meliar.

And then finally, I have a dream. I wanna be a writer. A very talented writer. Respon dari orangtua saya awalnya merupakan protes keras karena menjadi penulis tidak akan menjamin kesejahteraan hidup saya di masa yang akan datang. Di satu sisi saya terus memupuk mimpi saya agar menjadi nyata, di satu sisi saya tidak ingin orangtua kecewa. Kemajemukan desisi pribadi saya mengantarkan saya ke dalam dunia yang lebih kompleks, hingga akhirnya banyak berbenturan dengan banyak hal, termasuk cita-cita orangtua.

Maka dari itu saya berani berkata bahwa jalan saya tidak mudah. Mungkin juga dengan jalan yang sedang kalian titi saat ini. Mulai dari kerikil kecil hingga batu-batu besar, dinginnya lantai es juga teriknya matahari mau gak mau harus saya jalani (skip, gak usah baca). Ada banyak pertengkaran di dalam rumah, pikiran-pikiran berkecamuk melontar kesana kemari, sampai tangisan tiap malam tanda saya sudah lelah.

Diantara impian saya dan impian orangtua saya, saya pernah merasa menjadi anak yang tidak lagi unggul. Banyak menyakiti orangtua saya melalui perkataan serta perbuatan, banyak membuat mereka kecewa karena saya berkali-kali gagal dan terjatuh. Namun, mereka selalu siap memberikan bantuan jika saya benar-benar terpuruk. Itulah istimewanya orangtua, yang walaupun ingin melihat anaknya berkembang, namun tidak ingin melihat anaknya menderita. Saya yakin orang tua saya juga merasakan dilema saat itu. Antara keinginan untuk melihat saya bahagia melalui jalan yang saya pilih atau keinginan mereka untuk saya bahagia melalui jalan yang mereka pilih.

Hingga akhirnya saya memutuskan untuk terus mengejar mimpi saya, di dalam keadaan yang sama sekali tidak baik. Berkali-kali saya beradu argumen dengan orangtua, berkali-kali saya memutuskan untuk pergi dari rumah, berkali-kali saya mencari uang sendiri untuk bisa menghidupi diri saya sendiri di kota lain. Sungguh bukan hal yang mudah.

Lalu, hari ini, saya mendapatkan euforia-nya. Kebahagiaan yang terbilang jarang, kebahagiaan yang Tuhan tujukan untuk saya sebagai hasil dari kerja keras selama ini. Orangtua saya? Tentu saja merasa bangga.. Tak ada yang lebih membanggakan dari seorang anak yang bisa menggapai impiannya dengan setiap keringat dan tetes airmata yang ia hapus setiap hari, dengan sabar. Saya tahu orangtua saya merasa seperti itu karena excitement mereka terhadap kabar yang saya bawa hari ini bisa membuat mereka tersenyum dengan lebar...

Though this is not the end of my journey. There will be so many things onwards my way... Will be so many excitements, experiences, laughters, tears, and conflicts. Life's as hard as you can see, but we are not designed to give up.

But now, let me taste this euphoria. I am as happy as a free bird, wandering through sky. Thank you Universe for making me so much in love with your lessons. Finally, Absolute Freedom!

= o.O.o =

"Sekali lagi, selamat ya. Akhirnya, nangis-nangisnya kamu, capeknya kamu... semua campur aduk emosi dan perjuangan kamu itu gak sia-sia. Kamu 'gak mengalah untuk impian kamu.. Akhirnya, absolute freedom!"
- Seorang Kawan

P.S: Today I've received a news, a very terrific one, that I am accepted as a reporter at Gogirl Magazine. Thank you God, Universe, Ibu, Bapak, Rifki, Rifnida, my besties, and 'you', for supporting me real far. I have no words to say but I LOVE YOU ALL.

No comments:

Post a Comment