Tuesday, September 27

Antara Pekerjaan, Passion, dan Kapitalisme

Hari ini sepertinya cukup chaotic. Sedari saya membuka mata sampai detik ini, rasanya pikiran saya gak ada rehatnya buat memikirkan banyak hal. Sebagai contoh, tadi malam saya mimpi absurd sekali. Mimpinya sih gak usah dibahas lah ya, it's kinda a private journey of me. Jadi sebangun saya dari tidur, tangan saya langsung menggapai HP yang letaknya gak jauh dari bantal. Saya kirim sms om Noni, dengan pertanyaan tidak kalah absurd:

"Om kalo gak ada telepon, itu berarti gak diterima ya om?"

Tanpa basa basi busuk bau kemunafikan, saya kirim sms itu.

Masalahnya, beberapa hari yang lalu saya menjalani satu interview kerja di satu perusahaan advertising bonafit di Jakarta. Saking gugupnya, scenes interview itu masuk ke dalam mimpi saya. Untuk kali ini, saya gak bisa kontrol mimpi saya. Nyali saya terlalu ciut kali ya.. :p

Anyway, berkat mimpi absurd itu saya jadi agak 'macho' dalam nge-tweet. Kekesalan saya sebenarnya cuma satu, yaitu ketidakmampuan saya dalam 'sabar'. Banyak orang bilang, "Kamu kan baru lulus tiga bulan lalu, you don't have to worry about seeking job." Iya sih ya, tapi karena saya termasuk orang yang 'gak bisa diem', menjadi pengangguran selama tiga bulan itu sudah cukup memuakkan.

Jadi disini saya mau ekspos sedikit apa saja yang saya bahas di twitter.



Itulah tweet pertama saya. Awalnya sih, saya hanya berniat untuk menunjukkan kekecewaan saya terhadap ketidakmampuan saya itu, tapi akhirnya masalah meluas ke 'sektor' kapitalisme. Hahaha.. (kok bisa?) Ya mungkin karena followers twitter saya orang-orangnya pintar dan kritis, jadi mereka bisa dengan cermat merespon masalah kompleks seperti itu.


Dan ya, perkiraan saya ternyata benar. Banyak orang mengeluhkan betapa proses pencarian kerja itu lebih sulit ketimbang 'bekerja' itu sendiri.

Sebagai bahan pertimbangan, jika kalian yang sedang membaca blog post saya ini sudah bekerja, apakah kalian merasa aman nyaman tenteram dengan pekerjaan yang kalian geluti setiap hari? Beberapa diantara kalian mungkin menjawab:
"Ah, enggak kok! Aku enjoy aja."
"Blah! Bete banget gue sama kerjaan. Sibuk melulu, kapan liburannya?"
"Senin lagi, Senin lagi!"
"Mengerjakan sesuatu itu asalkan ikhlas, kita bakal dengan senang hati menjalankannya."
"Pekerjaan saya bukan karir saya. Jadi saya biasa aja menanggapinya."

Atau berbagai macam jawaban yang bisa kalian lontarkan. Pertanyaannya adalah:
  1. Apakah pekerjaan kalian itu memang pekerjaan yang kalian inginkan?"
  2. Apakah dengan bekerja lalu mendapatkan gaji yang diinginkan, kalian sudah merasa puas?"
Hayooo.. Dijawab ya!

Saya pribadi, memandang masalah ini dari konteks Amenities atau kenyamanan. Jangan pernah pengaruhi diri kalian dengan jumlah rupiah yang sebetulnya bisa semena-mena melucuti kebebasan kalian, apalagi mendiktatori kalian untuk berbuat 'terserah atasan'. Kalau begitu, apa bedanya kalian dengan para PSK? Bukan saya mau merendahkan derajat PSK, karena saya pikir mereka bekerja seperti itu pasti ada sebabnya. Namun, jika dilihat dari sisi lain, kalau kalian menganggap bahwa jumlah rupiah adalah segalanya, maka kalian sendirilah yang membunuh kreativitas dan juga kemampuan kalian sendiri. Gak percaya? Coba deh lihat sekeliling kalian, yang selalu mengeluhkan sikap bos atau jadwal kerja yang demikian padat. Sebetulnya, kalian bisa lebih dari itu. Kalian bisa mengembangkan skills kalian tanpa ada embel-embel campur tangan orang lain, apalagi atasan. Dengan nyinyir di twitter, memaki atasan lewat status facebook, jelas tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah ini.

Saya tidak menuntut kalian untuk menjadi 'oposisi' bahkan melancarkan serangan 'kudeta' di perusahaan. Saya hanya menghimbau bahwa dengan menggerutu di jejaring sosial tidak akan membuat kalian menjadi 'bebas'. Dengan melakukan hal lain, misalnya: menjadi entrepreneur, itu baru luar biasa!

Masalah lain muncul sebelum 'proses bekerja' itu sendiri ada. Dengan kata lain, proses pencarian kerja. To be honest, saya sedang ada di dalam proses ini. Sudah lebih dari 5 interview kerja saya jalani, namun tidak ada satupun yang saya seriusi. Kenapa saya bilang seriusi? karena beberapa diantaranya, pekerjaan yang tidak termasuk dalam passion saya. Kalian gak usah tahu-lah passion saya ada dimana, tapi jika kalian menerapkan hal ini di dalam diri kalian sendiri, kalian akan bertanya-tanya juga kok, "emang passion gue dimana?"

Untuk kalian yang mempertanyakan hal itu, coba gali lebih dalam diri kalian sendiri. Maksudnya, ya untuk mengetahui dimana passion kalian itu sebenarnya berada. Kalian bisa merujuk pada hobi, ini yang paling penting. Hobi adalah kegiatan yang sering kalian lakukan. Dari intensitasnya, kalian bisa mengetahui sendiri betapa hobi bisa mempengaruhi diri kalian sedikit banyak, bukan? Bisa juga kalian merujuk pada cita-cita, nah untuk yang satu ini, jelas cita-cita bisa saja menjadi passion kalian. Kenapa? Karena dengan cita-cita, kalian bisa dengan senang hati dan segenap jiwa raga (halah) tracing jalan kalian menuju kesana (cita-cita tersebut).

Berdasarkan 'obrolan singkat' saya dengan teman saya di twitter, ternyata masalah passion bisa saja menjadi batu sandungan ketika kita memilih pekerjaan. Banyak yang merasa bahwa "pekerjaan saya, bukan passion saya." Atau, "saya bekerja, tapi saya tidak menikmatinya karena itu bukan passion saya."



Karena masalahnya jadi melebar ke ranah kapitalisme, maka saya buat bersambung saja tulisan saya ini. Di kesempatan lain saya akan membahas tentang masalah ini. Sok penting sih, tapi saya suka. Jadi gimana dong? :p


Follow twitter saya: @rissastellar. Kita brainstorming disana.

No comments:

Post a Comment