Friday, July 15

Padamlah Nyala

Aku mencintaimu, Ambu. Sampai detik dimana aku memutuskan untuk tidak lagi berada di dbawah naungan payung kita, aku tetap mencintaimu. Bukan hanya karena engkau yang telah bersusah payah membawaku melihat terang dunia. Bukan pula hanya karena engkau yang telah bersedia mengucurkan keringat demi aku bahagia.

Aku juga mencintaimu, Ayah. Atas segala kecanggungan sikap kita berdua, atas segala kata yang tak bisa aku ucapkan padamu, aku tetap mencintaimu. Bukan karena hanya engkau satu-satunya lelaki yang mengerti bahwa aku butuh proteksi. Bukan pula hanya engkau-lah yang ternyata bisa begitu sabar menghadapi ketidaknormalan hidupku ini.
Betapa aku mencintai Ambu dan Ayah. Betapa aku tak ingin membuat kalian terluka. Betapa aku bingung dan sarat akan gundah, bahwa aku bisa saja membuat aku menjadi tak lagi berarti di mata Ambu dan Ayah. 
Maka akan aku padamkan nyala. Aku coba untuk membuat anganku lebih redup setiap harinya. Hingga akhirnya ia padam, dan hanya gulita tersisa. Aku tahu Ambu dan Ayah akan tetap berada di sana, menuntunku. Namun mataku telah kubiarkan tak lagi melihat segala warna yang sempat ku kenali. Dan kubiarkan hatiku tumpul terhadap tajamnya wangi mimpi. Akan kubuat ia padam, tak lagi menyala.

Maafkan aku Ambu karena telah menjadi egois. Maafkan aku Ambu karena telah menyesatkan diriku sendiri. Maafkan aku Ambu karena begitu rindunya aku padamu, tapi aku tetap memilih untuk berjalan di setapakku sendiri. Maafkan aku Ayah karena aku telah menjadi begitu gundah. Dan maafkan aku, karena pada akhirnya mau tak mau aku telah menjadi anak yang tak lagi bisa membuat bangga.
Setitik airmata Ambu begitu kusesalkan, dan setiap hela napas panjang Ayah begitu tak kuinginkan. Setiap langkahku untuk membuat bangga Ambu dan Ayah, pada akhirnya membawaku begitu jauh dari cemerlangnya harapan kalian.
Betapa aku ingin membuat Ambu dan Ayah bahagia. Setidaknya meneteskan airmata bangga ketika melihatku berhasil membuat Ambu dan ayah bahagia. Betapa rasa hausku terhadap perasaan euphoria seperti itu menciptakan segala mimpi yang ku punya menjadi begitu besar. Namun ternyata, aku begitu jauh dari apa yang kalian inginkan.
Aku sungguh mencintai Ambu, juga Ayah. Sedikit demi sedikit ku coba padamkan segala kobaran mimpi dan menutup semua pintu rumah hatiku. Maka padamlah, Nyala! Padam saja! Aku ingin berhenti menyakiti hati kedua orang yang paling kucintai. Aku ingin berhenti membuat mereka terluka. 
Toh, bukankah dari awal hidupku tak pernah ada pencapaian yang begitu berarti? Tak ada satupun hal yang benar-benar bisa membuatku mensyukuri hidupku sendiri. Jalan yang Ambu dan Ayah gambarkan untukku, semoga saja indah. Semoga saja bisa menghapus semua kerinduanku akan jawaban pasti dari semua rasa ketidaktahuanku. Semoga saja semuanya seketika padam, tak ada nyala tersisa.


No comments:

Post a Comment