Monday, May 30

Falsehood versus Honesty: Counterfeit versus Reality


Malam.. Jam LED di meja riasku menunjukkan pukul 03:03, dan awal hari pertama di minggu terakhir bulan ini berjalan sangat apik. Malam ini serta malam-malam sebelumnya, tak pernah ada tanda-tanda bahwa kantuk bisa diatasi hanya dengan mata yang tertutup rapat serta sunyi senyap. Buktinya, sampai detik dimana kemarin aku bisa terlelap adalah dengan pengaruh obat tidur berdosis tinggi. Entah mulai kapan aku terbiasa mengkonsumsi obat tidur, namun ada satu hal yang bisa menjadi alasan: ketika jiwa kita masih tetap terjaga, selelah apapun ia, tidur tidak akan pernah bisa menjadi obat yang bisa menuntaskan segala permasalahannya. Semenjak obat tidur menjadi teman setia ketika aku mengalami insomnia, maka sejak itu pula tidurku tak pernah lagi dihinggapi mimpi. Once, someone told me that tracing a dream is a gift. At least, dalam mimpi, semua hal bisa kamu lakukan. The question is, jika memang benar dalam mimpi semua hal bisa aku lakukan, lalu apa gunanya aku terbangun lagi? Lebih baik hidup dalam mimpi dan terus bermimpi. The conclusion is, semua yang kamu jalani itu, akan dibatasi oleh satu hal: realita. Maka kamu akan sulit untuk membedakan mana yang palsu dan mana yang nyata.
                Then, dalam rangka menunggu kantuk, aku mencoba untuk membahas satu hal yang sebenarnya tidak terlalu penting, namun setiap kali teringat satu kata ini, aku selalu merasa bahwa “yes, maybe it’s unimportant. But, unimportant to say doesn’t mean important to ignore.” Setiap teringat satu kata ini, aku selalu yakin bahwa di setiap kata yang aku, atau kamu ucapkan, terdapat satu atau dua kata hasil dari proses pemikiran berlebih, seakan-akan agar terkesan natural namun hasilnya terlalu sempurna. Ya, kebohongan.

                Coba hitung, sudah berapa kali kamu berbohong hari ini? Dari setiap konstituen kata yang kamu ucapkan hari ini, apakah ada satu kata yang kamu sadari betul, bahwa itu bohong? Jika ya, maka kamu termasuk orang yang tidak bisa berbohong, atau tidak terbiasa untuk berbohong. Aku termasuk orang yang kadang melihat kebohongan sudah menjadi hal yang lumrah. Menit ini berbohong, menit selanjutnya lupa. Do you?
                Kadang, untuk terlihat sempurna, baik itu dalam ujaran maupun perilaku, manusia terbiasa untuk berbohong. Hanya sekedar membuat lega lawan bicara, atau mengamini pujian, atau hanya untuk membuat sesuatu hal menjadi terlihat hebat bahkan mungkin ingin terkesan biasa. Aku mengibaratkan kebohongan sebagai cat. Dinding bisa terlihat indah dan cantik berkat cat. Namun, apakah kamu menyadari bahwa cat hanya berperan sebagai pemoles saja? The most essential element is, of course, the wall itself. Ada dua probabilitas, (1) Dinding yang sebelumnya sudah dicat, namun warnanya diperbaharui, (2) Dinding polos yang sama sekali belum di cat, namun sengaja dibuat menjadi lebih enak dilihat dengan dipolesi cat. How can I assure myself that a painted wall is so pretty to see? Tentu dinding yang sudah dipolesi cat akan lebih menarik untuk dilihat, daripada dinding polos berwarna semen yang kusam dan gelap.
                Dilihat dari perumpamaan itu, aku berpikir bahwa sebaik-baiknya dinding yang telah di cat, tetap saja ia adalah dinding yang muram dan kusam. Secerah apapun cat yang dipoleskan diatasnya, tetap saja cat itu hanya berperan sebagai polesan saja. Begitu pula kebohongan. Walaupun kenyataannya buruk dan pahit, jika dipolesi oleh kebohongan, maka semuanya akan terlihat sempurna. Indah. Dan baik-baik saja.
                Menurutku, di dunia ini tak ada yang namanya kebohongan yang baik atau white lies. Titik. Why? Karena, satu hal yang ditutupi oleh kebohongan hanya akan terlihat indah sementara saja. Jika kebohongan itu terkuak, baik ‘black’ lies maupun ‘white lies’, akan terasa begitu menyakitkan dan sulit untuk diterima. Respon yang dihasilkan mungkin tidak selamanya buruk, namun kesan yang didapat setelah kebohongan itu terkuak lah yang buruk. Contoh:
A: “Pergi kemana weekend ini?”
B: “Aku akan pergi bersama keluarga ke pantai.”
Lalu tiba-tiba si A menemukan foto-foto si B yang sedang berlibur di pantai bersama teman-temannya. Si B lalu menjelaskan jika ia telah berbohong, karena takut si A akan marah jika ia saat itu bilang akan pergi bersama teman-temannya. Mungkin, si A tidak akan marah karena si B akhirnya jujur (walaupun terpaksa karena ia ketahuan berbohong), namun apakah akan ada kepercayaan lagi diantara keduanya? Aku berani bertaruh, jika tadinya persentase kepercayaan A kepada B adalah 90%, maka setelah peristiwa itu, kepercayaannya akan menurun drastis. Dan yang terparah adalah, kecurigaan A terhadap B bertambah besar karena ketakutan ia akan dibohongi lagi. Kalaupun B ternyata tidak pernah berbohong lagi, akan sangat sulit untuknya meyakinkan A untuk mempercayainya. See? A little example of the falsehood. I mean little, because it almost happens in our daily routines and there are bigger falsehoods. Tertawalah, jika kamu pernah ada di posisi seperti A dan B.
Mungkin, ada saja kebohongan-kebohongan yang sampai kapanpun tidak akan pernah terkuak. Walaupun aku merasa yakin bahwa setiap kebohongan, selalu ada saja jalan yang menunjukkan kebenaran. Dan jika memang suatu kebohongan tidak terkuak, hanya ada tiga hal yang sebenarnya sedang terjadi: (1) Ada kebohongan lain untuk menutupi kebohongan sebelumnya, ingat: “lies don’t die, they multiply!” (2) Kebohongan yang menutupi cacat itu, sama sekali tidak terdeteksi dan (3) Kebohongan ganda, berlapis, sehingga terlihat seperti bukan sebuah kebohongan.  All seems real, and the true thing beneath the lie will be seen as such peculiar thing to believe. I raise my thumbs up for the third option, because all the liars in option three are so skilled in falsehood. LOL.
Lalu, what are we supposed to do? Jangan pernah berbohong, sesulit apapun kamu menjelaskan, seburuk apapun kenyataannya, atau se-sempurna apapun kesan yang ingin kamu tunjukkan. Jangan pernah berbohong jika kamu tidak ingin menyakiti seseorang, kecuali kamu adalah orang yang tidak punya hati, dengan menyakiti perasaan atau merusak kepercayaan orang lain yang mereka tanamkan terhadapmu.
Jika kamu pernah atau sedang melakukan kebohongan, baik dalam sikap, ucapan, maupun dalam menjalani hidup, stop it right now. Tell them the truth and regain their trusts. Not so easy to do, but at least you stop being a faker. Urusan mereka akan mempercayaimu lagi atau tidak, itu bukan masalahmu. Biarkan mereka yang mengatur perasaan mereka sendiri untuk membangun kembali kepercayaan itu. Dan ya, ada dua probabilitas lagi yang mungkin akan kamu hadapi: (1) mereka akan mempercayaimu tapi tetap skeptis (ragu), (2) mereka tidak akan pernah lagi percaya padamu. Whoah, seems like we all don’t like the second option at all. Aku secara pribadi, lebih memilih untuk bersikap dan berujar jujur atau seadanya. Jika ada seseorang yang bertanya mengenai satu hal, aku selalu mengajukan pendapat mana yang mau kamu dengar, ‘jujur’ atau ‘seadanya’? Mungkin terlihat sama, namun jauh berbeda. Pendapat jujur adalah pendapat yang menurutku polos, telanjang, dan benar-benar sesuai dengan apa yang aku pikirkan dan rasakan. Sedangkan pendapat seadanya adalah pendapat yang keluar melalui proses pemikiran serta perasaan, dan juga satu aspek lain, yaitu ‘norma’. Pendapat yang seadanya tidak akan menjadi sebuah kebohongan jika tidak ditambahi atau dikurangi. Pendapat yang seadanya hanya akan bermain di lingkup linguistik atau gestur saja, tanpa menutupi kenyataan yang ada. Feel the difference?
Lalu, mengapa ada pembohong? Baik disengaja ataupun tidak, pembohong tetap akan dicap sebagai pembohong jika ia melakukan pemalsuan. Subjek yang melakukan kebohongan, tidak selamanya ‘berniat’ untuk berbohong. Ia bisa saja berbohong demi kebaikan (oops! no white lies, remember!), dan lalu merasa bersalah karena telah berbohong. Konteksnya bisa saja ia tidak mau menyakiti perasaan orang lain yang dia bohongi karena kenyataannya terlalu pahit. Ya menurutku, apapun alasannya, bohong tetaplah bohong. Don’t you feel the same? Lie is lie.
                 Lastly, bagaimana caramu mendeteksi kebohongan? Just don’t easily believe. I mean, you don’t have to be skeptic, but for the sake of reliance and credential truths, you may not let your ‘100%’ out. Tidak mudah untuk mendeteksi sebuah kebohongan, karena kita dilahirkan bukan untuk bisa membaca pikiran manusia, walaupun ada beberapa manusia yang mengklaim bahwa dirinya bisa (but again, I don’t believe this theory). Tapi, menurutku ada beberapa hal yang bisa membantu kita menguak kebohongan, yaitu:
1.       Mimics. Mimik atau air muka seseorang ketika berbicara dengan kita. Jika perkataannya mengandung kebohongan, maka secara natural akan terlihat ada perubahan di mukanya. Again, it is not as simple as it seems, tapi, secara naluriah setiap manusia bisa melakukannya.
2.       Gestures. Gestur atau gerak tubuh. Jika ia sedang melakukan kebohongan, gerakan tubuhnya tidak santai dan seringkali melakukan hal-hal diluar kebiasaan, yang tidak disadari. Misalnya: ketika pacarmu beralasan untuk pergi bersama teman-temannya, ia menggaruk alis tanpa ia sadari. Mungkin hal ini bukanlah faktor mutlak ia sedang berbohong, namun setidaknya bisa menjadi salah satu faktor pendukung analisis kecilmu dalam mendeteksi kebohongan.
3.       Utterances. Perhatikan setiap detil perkataannya. Jika ia banyak menggunakan pauses atau overlap, maka ia sedang memikirkan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu ia katakan (dalam kasus kali ini, kebohongan). Jika ketika seseorang berbicara padamu dengan menggunakan banyak kata “eh..” atau “mmm..”, maka ia sedang memikirkan satu alasan, atau sekedar penambahan, atau bahkan mungkin pengurangan. Ya, pada intinya, menutupi kenyataan. Lagi-lagi, ini bukanlah hal mutlak untuk dijadikan referensi. Tapi, kamu sendiri menyadari bukan? LOL.
4.        Attitude. Yakin gak kamu kalau lawan bicaramu berbicara padamu tanpa melihat langsung padamu, ketika kamu tanya dia untuk berkata jujur? Ia lebih memilih untuk melihat dinding kosong di sampingmu, atau mungkin lebih tertarik untuk melihat orang yang sedang berlalu-lalang? Ya, ya, ya. Mungkin saja dia sedang merasa bosan atau tidak tertarik pada pembahasanmu. Tapi, merunut dari faktor-faktor lain yang sudah aku sebutkan diatas, apakah kamu bisa mengerti bahwa dia sedang merasa bingung antara berbohong atau berkata sebenarnya? Dalam keadaan seperti ini, yang harus kamu lakukan agar ia berkata jujur adalah: dengan tidak mengharapkan jawaban yang ‘ingin’ kamu dengar, atau jawaban yang bisa ‘melegakan’ hatimu. Intinya, sedari awal kamu harus siap dengan kemungkinan terburuk. Setelah itu, ungkapkan pada lawan bicaramu bahwa kamu tidak mempermasalahkan kenyataan yang nantinya akan kamu hadapi (walapun kenyataannya memang sulit). Lalu biarkan ia luncurkan segala jawaban yang ia punya. Jika setelah itu ia masih berbohong, maka kamu adalah satu-satunya orang yang memegang kendali penuh. Percaya, atau tidak. :)
5.       Time. Yak, waktu adalah faktor terakhir dimana kamu bisa membuktikan eksistensi kebohongan. ‘Biarkan waktu yang menjawab semuanya’ itu bukanlah ungkapan kosong bagi para penunggu kebenaran. (Cie cie..) Sesulit apapun kamu mengungkap sebuah kebohongan, waktu dan antek-anteknya (baca: kuasa Tuhan - jika kamu mempercayainya, bukti-bukti, atau bahkan faktor luar yang sama sekali tidak kamu sadari) akan datang membantumu menguak kebenaran. Yes, lagi-lagi bukan hal mudah, karena waktu bukan hal pasti yang bisa kamu tunggu. Tapi, cepat atau lambat, kebohongan akan terkuak. Dan paling banyak yang menguak kebohongan adalah pembohong itu sendiri. Disaat ia berbohong, ada perasaan bersalah pada dirinya. Dan ketika ia sudah tidak tahan untuk terus berbohong dan menutupinya dengan kebohongan lain, maka ia akan menyerah pada kenyataan. Gotcha!
Hei, aku bukan seorang mahasiswa psikologi atau sosiologi. Aku juga bukan orang yang mengenal baik watak ataupun sifat seseorang, tapi jujur saja, aku orang yang cukup skeptis pada semua hal. Aku akan mudah mempercayai perkataan serta perilaku seseorang jika memang ia tulus dan tidak mengada-ada. Namun, ada saatnya aku akan merasa sulit untuk mempercayai orang lain jika kupikir, semua yang mereka katakan, tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Aku mungkin hanyalah orang yang sok tahu, dan sebenarnya tidak mengerti apa-apa. Tapi aku sangat bersyukur, hingga detik ini, aku selalu percaya pada satu hal yang sangat penting: kejujuran. Jika sekali saja aku mencium bau kebohongan, aku akan sangat tidak peduli seberapa kuat usaha mereka meyakinkanku untuk mempercayai mereka. One day, somebody told me that I am a subjective person; I only see anything by its cover. Mungkin itulah pertahananku, dan seburuk apapun pertahananku, aku hanya ingin mempertahankan kepercayaanku pada orang lain tanpa membuat orang lain harus membohongiku, apalagi membohongi dirinya sendiri hanya untuk memuaskan hatiku. Hasilnya, sekali saja kepercayaanku jatuh, maka angka 0 tidak akan pernah mengalami lagi peningkatan ke angka yang lain, bahkan aku tidak memberikan ‘desimal’ pengecualian.
Yak! Gak kerasa, sudah 3 jam aku menulis tentang ini. Adzan Subuh sudah berkumandang, dan hujan rintin-rintik sudah turun diluar sana. Saatnya shalat dan berdengkur. Kata terakhir yang bisa aku ucapkan adalah, kejujuran dan kepercayaan itu berbanding lurus. Tidak akan ada kebohongan jika keduanya berjalan beriringan.
See you again, Bye!

No comments:

Post a Comment