Sunday, April 4

When Brokenheart Succesfully Turned You to be a Bad Person.


“Suicide was a beautiful moment of mine. I cut my vein twice, and in the third, I changed myself into different one, hoped that I could survive and still alive.”

Ketika kamu dihadapkan pada dua pilihan, jika keduanya sama sekali tidak kau inginkan, lantas apa yang akan kamu lakukan?
Pernah suatu ketika aku merasa hidup tak lagi indah, semuanya mendadak berwarna kelabu. Apapun yang kulihat hanyalah kegelapan, apapun yang kurasakan hanya pilu. Pernah, pada saat itu, aku menginginkan kematian. Suatu keadaan dimana tubuhku tak lagi punya daya untuk menangis, berteriak, dan merasakan sakit. Suatu keadaan yang kupikir, akan membuatnya kembali, berbalik arah, dan menyesali apa yang telah ia perbuat padaku.
Berbulan-bulan lamanya aku merasa seluruh tubuhku mati rasa, selalu merasa ada yang hilang. Berkali-kali aku bercermin, yang kulihat hanyalah seonggok daging yang hatinya telah mati. Mukanya masam, tubuhnya kurus, kulitnya pucat, dan tatapannya kosong. Aku tak lagi merasa cantik, tak lagi merasa berharga.
Aku begitu membenci kehidupan yang dimana wajahnya tak terlihat, aku membenci kehidupan yang dimana aromanya tak kucium, aku membenci kehidupan yang dimana lengannya tak bisa lagi kugenggam, aku membenci kehidupan yang dimana kecupan lembutnya tak bisa lagi kurasakan. Ia begitu melekat, sangat kuat, sehingga aku tak pernah bisa membayangkan apa jadinya hidupku tanpa sosoknya.
Memang terkesan sangat “drama queen”, namun jika kamu merasakannya sendiri ke-alay-an itu, kamu akan sangat yakin bahwa ini semua wajar. Sekali lagi, cinta bisa membuatmu terbang sampai kelembutan awan-awan bisa kau genggam, dan kau mengimani cinta sebagai penyelamat hidupmu. Cinta juga bisa membuatmu jatuh terperosok ke lubang terdalam, dan meski kau meraung-raung meminta cinta menyelamatkanmu, ia takkan pernah datang.
Pada saat dimana hidup bukanlah lagi suatu keadaan yang bisa membuatmu terus merasa penasaran, maka kamu akan tertarik pada kematian. Jika dari segala penjuru dunia berkoar-koar mengenai “afterlife”, maka ketertarikanmu terhadap kematian itu akan menjadi-jadi.
Aku, yang merasa tak lagi berharga, yang merasa tak lagi bisa membuka diri untuk menerima segala bentuk kesenangan dan uluran tangan, begitu senang jika mendengar kata mati. Aku merasa bahwa kesenangan dan uluran tangan itu, tak pernah tulus lagi. Tak pernah benar-benar menginginkanku untuk bangkit kembali berdiri. Semuanya palsu, semuanya hanya memanfaatkan keadaan lemahku.


 

Third time was the most!
Sebelum ini, aku pernah menyayat pergelangan nadiku sendiri, dua kali. Jika membicarakan apa rasanya ketika itu, entahlah, yang kulihat hanya bayangan diriku sendiri yang tak lagi berguna. Sayatan demi sayatan begitu ku nikmati, setiap tetesan darah menetes walau tak deras. Bohong jika kubilang aku tak merasakan sakit. Bohong jika kubilang aku tak ingin berhenti. Tapi sensasi itu, membawaku terlarut dan lebih menikmati lagi dan lagi. Entah setan mana yang mempengaruhiku, namun rasanya begitu nyaman dan tenang.
Dan yang ketiga, adalah yang paling membuatku merasa bahwa aku akan benar-benar mati. Entah berapa kali ku sayat pergelangan tanganku, satu yang pasti, darah segar mengalir deras membanjiri seprai dan kaosku. Berkali-kali kuhirup, berkali-kali terhapus karena airmata, berkali-kali kututup dengan saputangan, darahnya tetap tak berhenti keluar.
Disaat itu, yang terbayang bukan wajahnya, bukan lagi senyumnya, bukan lagi dia. Aku melihat ibuku, ayahku, adik-adikku. Semuanya menangis, semuanya berharap aku kembali. Disaat itulah, disaat-saat halusinasi itu, aku bertekad untuk terus hidup. Aku masih belum punya bekal apa-apa, di pundakku masih ada harapan kedua orangtuaku dan senyum kebanggaan adik-adikku. Jika selama ini mereka melihatku sebagai sosok wanita kuat, ceria, dan tangguh, maka akan kupertahankan itu.
Luka yang semakin mengering serta hati yang semakin mengkelam, dengan sukses telah membentuk pribadiku yang kini kamu lihat. Sungguh, aku tak pernah menginginkan diriku yang seperti ini. Kini aku tak pernah lagi merasa cantik, berharga, dan penuh cinta. Aku berubah, dan kusadari itu.
Kini, dimataku, dunia selalu bersikap sinis. Aku berjuang mati-matian untuk melawannya. Karena menurutku, ketulusan itu takkan pernah ada lagi. Akulah yang merasa paling tulus, dan karena perasaan itulah aku sempat terjatuh begitu dalam.
Maka, untukmu, jangan pernah sedikitpun memberiku cinta karena aku tidak akan percaya. Jangan pernah memberiku cinta karena aku takkan bisa memberimu hal yang sama. Aku akan menganggapnya sebuah kebohongan atas nama ketulusan. Karena, cinta sejati itu hanya sebuah teori yang takkan pernah bisa dibuktikan kebenarannya.
Jangan pernah mencintaiku, jangan pernah mengharapkanku untuk bisa mencintaimu. Karena aku takkan pernah sanggup lagi untuk berubah menjadi aku yang dulu.
Maaf, untuk siapapun yang pernah merasa tersakiti, untuk siapapun yang merasa dipermainkan, untuk siapapun yang merasa aku itu tak punya hati. Tak pernah sedikitpun aku berniat untuk menyakiti kalian, membuat kalian menganggapku sebagai wanita terjahat yang pernah ada. Sungguh, aku menyayangi kalian, dimasa yang berbeda-beda, namun aku tak bisa memberi lebih dari itu. Terima kasih pada rasa takutku untuk kehilangan, yang memotong semua jalan menuju kata itu, “cinta”.
Bersyukurlah, setidaknya aku bisa membuatmu melihat seburuk apa diriku. Aku itu batu, takkan terbentuk lagi menjadi sebuah keindahan jika tak benar-benar dipatri dengan penuh kesabaran dan ketulusan. :)

No comments:

Post a Comment