Tuesday, April 27

Let's See Inside My Family: The Kusnawans


This is my 100th note, from the very first time I wrote everything in here till now; I totally got perfect lessons from all of you. From the readers, commentators, advisors, debaters, so on so forth. Really, I am so excited to write anything, especially related to my own story. As yours, my story is never flat. All moves dynamically, so up and down.

Di notes ke-100 saya ini, saya ingin menceritakan sedikit anggota keluarga saya, The Kusnawans. LOL. Inilah pertama kalinya saya berbagi pada kalian tentang keluarga dimana saya tumbuh dan berkembang.

 
Tentang Mereka
1.       Seperti apakah Ayahmu?
Umm.. mulai dari mana ya? Oke, physically, bapak saya orang yang gagah. Tubuhnya tinggi menjulang dan tegap. Dadanya bidang, kulitnya kecoklatan. He’s a real man. Bapak itu, orangnya senang berkebun, senang mancing, dan senang ngemil. Apapun bisa jadi cemilan, bahkan kerupuk udang pun bisa habis kalau udah di depan mata bapak. Sifatnya, sungguh, saya sangat mengagumi sifat bapak. Bapak saya itu seperti stalaktit es, dingin tapi berbahaya. Di keluarga kami, bapak adalah satu-satunya orang yang mampu berpikir jernih ketika sekelilingnya sedang terbakar rasa marah. Bapak biasanya diam, tak banyak bicara, dan jarang tersenyum. Bapak saya itu, tipe lelaki idaman saya. Penuh tanggung jawab dan benar-benar menyayangi keluarga (dengan caranya sendiri). Bapak orangnya sederhana, dengan pakaian seadanya walaupun ibu rajin sekali membelikan bapak baju/sepatu, tapi bapak orangnya cuek dengan penampilan. Buat saya, tipe bapak yang sederhana yang seperti inilah yang insya Allah, akan selalu saya impikan untuk menjadi ayah bagi anak-anak saya. Secara pribadi, bapak adalah sosok yang lembut, penuh perhatian, dan paling mengerti apa yang sedang saya inginkan dan pikirkan. Saya senang bercerita tentang kehidupan kuliah saya, tentang impian-impian saya. Bapak bisa memberikan solusi, saran, kritik, dan asumsi yang selalu bisa saya terima. Sebuah kecocokan chemistry yang sekarang ini sedang sulit saya rasakan. Overall, ketika saya bercerita pada bapak mengenai pacar (siapapun yang saat itu menjadi pacar saya), kalau saya selalu melihatnya sebagai satu faktor penting yang tak boleh saya lupakan. Karena menurut saya, bapak itu sempurna, saya ingin suami saya nanti, seperti bapak saya. What a difficult point, but that’s what I am. :)

2.       Seperti apakah ibumu?
Ibu saya, begitu sulit untuk dijabarkan dalam satu atau dua lembar kertas saja. Bagi saya, ibu adalah orang yang sangat berarti. Bagi saya, jika ibu adalah perhiasan, maka beliau itu porselen. Saya selalu merasa takut jika sampai saya memecahkannya. Saya selalu merasa harus berhati-hati dalam bersikap agar tidak melukainya. Secara fisik, ibu saya itu cantik. Really, she’s so pretty. Tubuhnya tinggi, sedikit gemuk, actually, she had a good shape when she was highschooler and when she is in college. Wajahnya cantik, punya mata indah, kulit langsat, dan rambut yang lebat. Apa yang saya lihat dari ibu adalah, segalanya. Beliau memiliki kemampuan yang sangat baik dalam menulis, mungkin bakatnya inilah yang kemudian turun pada ketiga anaknya (saya, rifki, dan rifnida suka menulis). Beliau juga baik dalam membuat puisi, mendesain baju dan menggambar. Jujur saja, bakat-bakat dari ibu saya, turun secara langsung pada saya. Saya senang fashion, sama seperti ibu. Hanya satu yang membedakan saya dengan ibu, saya orangnya tertutup, sama seperti bapak. Kalau ibu, meledak-ledak. Walaupun seperti itu, ibu sangat pintar dalam menyembunyikan perasaannya. Karena beliau begitu rentan, saya selalu merasakan ketakutan yang amat sangat, sehingga saya kurang terbuka pada ibu. Tapi sejak beberapa bulan yang lalu, ketika suatu musibah menimpa saya, saya jadi sedikit terbuka pada ibu, saya jadi senang bercerita tentang masalah-masalah saya padanya. Bapak bilang, ibu akan mengerti perasaan saya karena kami sama-sama wanita. Sejak saat itu, saya senang bercerita tentang hubungan saya dengan siapapun, baik itu pacar maupun teman-teman. Bagi saya, mempunyai ibu yang seperti ibu adalah sebuah anugrah, ketika saya tidak bisa melihat apapun, ibu lah yang akan menunjukkan jalannya. Doa ibu selalu terasa, saya selalu berpikir bahwa keberhasilan saya di suatu hal, ada doa ibu di dalamnya.

3.       Seperti apakah adikmu?
Saya mempunyai dua orang adik. Yang satu, namanya Rifki Aulia Rahman. Dia umurnya ga beda jauh dari saya, sekitar 19 tahun. Jujur, ketika kami masih bersekolah, adalah suatu kegiatan rutin jika setiap harinya kami bertengkar. Walaupun seperti itu, ada kalanya kami berbagi, walau bukan cerita. Rifki senang nge-band. Dia pandai memainkan gitar dan bass. Dulu ketika saya masih SMA, saya senang mendengarkan permainan gitarnya. Kadang, ketika ia menciptakan sebuah lagu, saya adalah orang (walaupun mungkin bukan yang pertama) yang mendengarkan lagunya. Percaya atau tidak, setiap dia memainkan lagu-lagu ciptaannya, saya selalu rekam di handphone! Ketika saya mulai berkuliah dan rifki masuk SMA, kami jadi sangat jarang bertemu. Rifki orangnya keras kepala, jika ia memiliki satu pendirian, maka ia akan terus mempertahankannya dengan cara apapun. Ia juga anak yang cerdas, kemampuan verbalnya (saya yakin) ada di atas rata-rata. Ia pandai berdebat, beradu argumen, dan senang berkelakar. Satu lagi sifat ibu yang turun pada anaknya. Menurut saya, Rifki adalah duplikat ibu. Sama persis seperti ibu. Jadi bisa kalian bayangkan, bagaimana jadinya kalau mereka sedang bertengkar? Wow! Perang dunia.
Sebetulnya saya sedikit merasa kalau saya-lah seharusnya yang menjadi adiknya, karena kapasitas saya sebagai kakak kadang diremehkan olehnya. Satu hal penting yang saya pikir kalian perlu tahu, Rifki berhenti menyebut saya “teteh” tepat ketika dia kelas 4 SD. Hati saya sebenarnya kecewa, namun setelah saya pelajari wataknya, sampai detik ini, saya mengerti. Satu panggilan saja, tidak mencerminkan rasa sayang adik kepada kakaknya. Saya rasa, dia sayang pada saya jauh dari apa yang saya pikirkan. Cukup mengetahui itu saja, saya sudah cukup senang. Apa yang saya lakukan sekarang hanya melihatnya dari jauh, mngetahui perkembangannya di bangku kuliah (dia mahasiswa tingkat 1 jurusan ilmu gizi Undip), dan juga tentang apa yang sedang ia rasakan. Walaupun tidak bisa membantu banyak, saya hanya ingin menunjukkan betapa saya menyayanginya dan senang melihatnya semakin maju dan berkembang.

Adik kedua saya, namanya Rifnida Zulfa Akmalia. Usia rifni terpaut jauh dari Rifki, sekitar 11 tahun. Sekarang ia duduk di bangku kelas 3 SD. Bagi saya, dia adalah segalanya. Apa yang saya pikirkan tentang masa depan saya adalah masa depan dia. Orangtua saya selalu menekankan bahwa selain saya dan rifki, siapa lagi yang akan menjaganya ketika orangtua saya sudah tak mampu lagi? Begitu berartinya rifni buat saya, sehingga ketika saya terjatuh, satu orang saja yang akan saya ingat. Yaitu Neng rifni. Karena dialah permata saya, karena ketika dari ibu mengandungnya, ibu melahirkannya, sampai saat ketika neng lahir, saya ikut menjaganya. Saya bertanggungjawab penuh atas hidupnya di masa depan. Di bahu saya ini, nama Rifni sudah menjadi beban termanis, terindah, yang takkan pernah saya lepas sampai saya menutup mata.

Bagi saya, rifni tumbuh berkembang di kondisi keluarga yang harmonis. Ia tumbuh dengan banyak cinta, sehingga membuatnya menjadi anak yang cantik, sehat, dan sangat pintar. Ia termuda di kelasnya, tapi pintarnya setara dengan yang lebih tua dengannya. Lagi, seperti kakak-kakaknya, ia pandai berdebat. Jika ia mempunyai satu pendirian, maka ia akan mempertahankannya. Bagi kami, ia adalah pembangkit keharmonisan keluarga kami. Ketika masih berempat, kami jarang sekali berkumpul di satu ruangan. Sibuk dengan urusan masing-masing, jangankan bercanda bersama, waktu untuk meluangkan waktu refreshing sekeluarga pun nyaris tak pernah ada. Ketika ia lahir, bapak saya jadi hobi tersenyum dan tertawa, Rifki jadi tak lagi manja, dan ibu, tetap seperti biasa. Selalu sayang pada ketiga anaknya.

Satu hal, yang saya takkan pernah lupa dari rifni. Ketika ia masih berumur 5 tahun, saat itu Rifki sedang nakal-nakalnya. Ibu dan rifki selalu bertengkar, bahkan sampai saling berteriak, dan tak pernah bertemu di satu titik. Selalu bersimpangan. Saat itu saya sudah kuliah tingkat 1, namun saya masih sering pulang ke rumah karena kerinduan saya pada keluarga masih sangat tinggi. Suatu hari, ibu dan rifki bertengkar hebat. Kalian tahu, rifni selalu dekat dengan saya. Ketika itu, dia berada ditengah keduanya, melihat adik laki-laki saya dan ibu sedang bertengkar. Tubuh mungilnya bergetar hebat, namun ia tidak menangis. Saya bawa dia ke kamar, saya peluk erat, dan berkata: “eneng sayang, tenang, disini ada teteh.” Dari mulut kecilnya, untuk pertama kalinya, ia berkata, “eneng mau ke bandung sama teteh.” Mulai detik itu, pelukan saya tak pernah saya lepas. Saya selalu memeluknya, walaupun jarak memisahkan kami sampai berpuluh-puluh kilometer, yang ada dipikiran saya cuma dia. Harta saya yang paling berharga. Ya Allah, sampai saatnya nanti kau ambil nyawaku, aku tak mau sedikitpun mengecewakannya, aku ingin dia bahagia. Rifni pantas mendapatkan kebahagiaan yang tak pernah saya rasakan. Rifni pantas seperti ini, anak yang riang dan cerdas. Tak seperti dulu, tekanan yang datang dari keluarga, yang sempat membuat mentalnya sedikit terjatuh. Mungkin ibu, bapak, rifki, tak bisa merasakannya. Tapi saya bisa.

Sampai pada saatnya nanti, saya ingin membahagiakan semuanya. Memang, untuk saat ini, saya masih bergantung pada orangtua, dan cenderung membebani mereka. Namun, suatu saat nanti, jika Allah memberikan kesempatan untukku, saya ingin Bapak, Ibu, Rifki dan Rifni bangga bisa memiliki keluarga seperti saya.

No comments:

Post a Comment