Wednesday, March 3

The Depression

Inilah hasil dari kegundahanku selama enam bulan terakhir, serentetan Huruf di depan mata yang sudah pasti adalah nyata, sedikit mengejutkanku, namun banyak menampar keras hatiku. Kawan, inilah yang dinamakan penyesalan.

Ritme jantungku semakin cepat. Tak terasa jemariku mengepal kuat, bergetar tak henti, serta berkeringat. Aku kaget. Huruf-huruf B can C begitu nyata di depan mataku, bulatan-bulatan hasil pensil 2B yang diisi oleh dosen-dosen tercintaku sangatlah pekat. Inilah hasilnya, hasil dari ketidakjelasan diriku selama 6 bulan terakhir. Ketidakjelasan antara pikiran, perasaan, ego, dan emosi. Ketidakseimbangan bagaimana aku harus berpikir, bekerja keras, dan berjuang untuk mendapatkan yang terbaik.

Aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa, walau sebenarnya hatiku terluka sangat dalam. Aku merasa dunia kini berbalik menertawakanku, seraya mencemoohku:
Lihat! Apa yang kau perbuat selama ini? Hanya menangis, menangis, dan menangis! Betapa bodohnya kau! Lihat! Tamparan terbaik untukmu, hasil dari kebodohanmu!!

Tuhan, inilah keajaiban-Mu. Kado spesial untukku di awal tahun 2010. Aku yang selama ini terus merasa tertindas, terpuruk, dan bahkan tak mau hidup, telah Engkau sadarkan betapa berartinya hidupku.
Sekali lagi, aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa. Bahkan ‘dia’, Dia yang telah sukses memasukkanku ke dalam jurang nestapa, menginjak-injak harga diriku dan tega mengambil kepercayaanku padanya. Aku tak bisa menyalahkannya, karena seburuk apapun yang ia lakukan padaku, sekeras apapun dampaknya terhadapku, tetap aku sendiri yang enggan untuk bangkit. Aku enggan untuk hidup dan berdiri lagi, menatap masa depan lagi, merajut mimpi-mimpi lagi.





Faint.

Di lobi jurusan aku terduduk, menengadah, meminta jawaban pada langit-langit atas pertanyaan yang aku sendiri tahu jawabannya, nyata-kah ini? Mosaik kecil langit-langit yang berasal dari airmataku yang tertahan terlihat begitu suram. Warnanya antara abu dan hitam. Seraya meremas ujung kerudungku, airmataku jatuh perlahan, melunturkan eyeliner, membuat garis hitam lurus sepanjang pipi. Tak peduli siapa yang ada disana, aku ingin menangis lagi. Aku menyesal. Sangat menyesal terjatuh sedalam ini. Langit-langit tetap diam sedikitpun tak memberiku jawaban, bahkan, ia semakin menghitam.


Do I still have room to grow?

Sebagai manusia, kadang ada saatnya kita merasa tak ada lagi tempat untuk berlindung. Kita melihat dunia disekitar kita sebagai anak panah yang akan selalu siap menghujam jantung kita. Risks. Dalam keadaan seperti ini, yang kita lakukan biasanya merasa kecil, lemah, dan takut. Seakan semuanya tinggal menunggu waktu kapan akan mati. Human. Sangat manusiawi, bukan?

Aku merasa bahwa untuk bangkit, kita harus merasakan saat-saat itu, saat dimana melodramatic sedang mencapai klimaksnya. Saat dimana kita harus keluar dari zona nyaman kita, berpikir keras bagaimana kita bisa bertahan dan melawan. Dan pada akhirnya, kita sendiri yang melihat hasilnya, apakah kita sanggup bertahan, atau mati dalam ‘perang’, bahkan mati tanpa ‘perang’.

Untuk diriku sendiri, inilah saat-saat itu. Dalam rentang umur 17-20 tahun sampai saat ini, tahun inilah yang ter’dalam’. Selama 20 tahun aku hidup, inilah yang paling menyakitkan. Aku tidak menutup kemungkinan bahwa dalam beberapa tahun ke depan aku akan kembali merasakan hal-hal ini lagi, tapi kupikir ini yang terburuk.

Masih adakah tempat untukku kembali tumbuh dan berkembang?


“A life without risk is a life unlived…”

Teringat petikan dalam buku 5cm, hidup tanpa resiko seperti menjalani hidup tanpa merasa hidup.
Aku beringsut, merapikan kerudung paris-ku, menyeka airmata yang masih membanjiri kedua mataku, serta menghapus garis-garis hitam yang kini mengering di pipi. Aku melihat sekitar, tak ada yang berubah. Mahasiswa masih berlalu lalang, ada yang duduk di pojokan sambil mengotak-atik laptop, ada yang hanya bergurau bersama kawan-kawannya. Lamunanku begitu panjang. Kupikir, ini saatnya untuk pulang.

Aku berdiri, beranjak pergi. Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada beberapa teman, aku pulang menuju rumah kontrakan. Hatiku masih terasa sakit, gimana ngga sakit, diputusin huruf A? Aku berjalan mantap, dengan kuat kudekap buku-buku referensi proposal skripsi-ku serta 5cm.

FAITH AND FIGHT!!

FAITH AND FIGHT!!

FAITH AND FIGHT!!


Kedua kata itu semakin keras berteriak dikepalaku.


“we’re just ordinary people, we don’t know which way to go. ‘cause we’re ordinary people, maybe we should take it slow…..”


Langit-langit kamarku membentuk mosaik hitam dan abu persis seperti mosaic lobi, dengan spots pantulan lampu yang berkerlap-kerlip. Ya, didalam kamar aku menangis lagi. Tapi, aku yakinkan pada diriku sendiri, ini yang terakhir. Setelah ini, takkan adalagi airmata. Ini hari-ku. Kubiarkan airmata terus jatuh, kubiarkan hatiku menjerit sekeras-kerasnya, hanya untuk hari ini saja.


Langit-langit, aku tak butuh jawabanmu. Karena aku yang akan mencarinya sendiri.

==========================
=======================

P.S: untuk ibuku yang baik, dan bapakku yang ganteng dan bijaksana,, maafin teteh karena nilai semester ini turun ..

No comments:

Post a Comment